Kado Cinta dari Tuhan … [Abid & Dewi’s Story]

Kisah ini kutulis setelah membaca kembali beberapa email yang suamiku kirim sebelum kami menikah. Akhirnya, aku malah terisak dalam dekapnya. Haha…terharu jika mengingatnya. Untuk sampai pada masa ini begitu banyak yang menimpa hati kami. Tak ingin menggurui atau memamerkan romantisme atau apapun yang berkonotasi negatif. Hanya ingin berbagi kepada siapapun yang sedang menunggu, mencari pasangan hidupnya. Pak Mario Teguh pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “Jangan mengatakan kamu butuh seseorang yang bisa menerima kamu apa adanya tetapi pantaskanlah diri untuk bersama dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria yang telah kita tetapkan. Allah hanya memberi sesuatu yang layak, sebanding dengan pribadi diri kita”. 

Seseorang pernah mengatakan bahwa pacaran itu menghambat datangnya jodoh. Entah benar atau tidak. Setelah mengakhiri hubungan yang telah kujalani selama kurang lebih 2 tahun, akhirnya Allah membuatku begitu jelas dengan kehadiran seseorang dalam hidupku.

Tak lama berselang, warna baru hadir dalam keseharianku. Ia, Muhammad Zainal Abidin. Makin berarti setelah kepergian sosok ayah dalam hidupku.

Ia menulis dalam emailnya seperti ini, “Aku masih tetap belajar menjaga warna baru yang kemarin, semoga bisa menjadi puzzle yang memperindah jalan cerita hidupmu”.

Sewaktu kuliah, kami beberapa kali berjumpa tapi tak ada yang spesial. Aku, mungkin dimatanya hanya gadis kecil yang merupakan adik dari salah satu teman kuliahnya. Ya, dia adalah teman kakakku.

Ia baru hadir, mengenalku secara pribadi pada tanggal 12 Juni 2009. Kemudian, pada tanggal 19 Juli kami membuat komitmen untuk menjaga hati masing-masing bagi satu sama lain (mungkin Ia terlalu puitis untukku, jadi nggak bisa nolak. Haha….).

Ia menulis dalam emailnya seperti ini, “Aku mengikatkan hatiku padamu, pada Dewi Nuryanti yang sebulan ini telah ada.
aQ mexebutnya ‘ta’aruf’, sok islami, tapi memang tujuanku bukan hanya untuk having fun, ini proses menggapai cita-citaku tentang ‘impian imut’”.

Kami menggunakan segala media untuk mengenal pribadi, berbagi cerita, dan meyakinkan satu sama lain bahwa rasa sayang itu telah tertanam dan tumbuh dengan suburnya di hati, bahkan jika dipangkaspun maka seketika itu pula akan tumbuh dengan rimbunnya dan setelah kami hanya bisa SMSan, nelfon dan mengirim email tiba saatnya pada perjumpaan pertama kami. Tak banyak yang bisa kami lakukan, hanya percakapan pendek saat  sosoknya nampak di palupuk mataku, aku masih begitu canggung, bahkan menatap matanyapun tak sanggup.

Hari berlalu, bulan berganti. Setelah perjumpaan kami yang kedua kalinya, ia menulis dalam emailnya seperti ini, “Assalamu alaikum …
Semalam sebenarnya telah menulis, tapi berkali-kali kuhapus. Tak jadi, tak berani mengirimkan susunan kalimat itu kepada Dewi. Mungkin kata-katanya terlalu melangit, hingga nanti dikiranya aku hanya gombal. Hehe …

Pagi ini, salah satu dari sekian pagi Dewi ada di hatiku, setelah semalam meyakinkanku lewat sebuah SMS yang sangat mesra: Aku milik Abidku. Tuhan, itu menyesakkanku meski aku membalasnya dengan sebuah lelucon: Jiplak!

Telah lewat beberapa jam perpisahan, namun masih juga rasa itu menyeruak, membanting hatiku, membuatnya terasa penuh dengan berbagai cerita yang mengharuskan kepalaku membayangkan dan mengimajinasikan perjumpaan ‘lagi’ dengan kekasih hati.

Pagi ini indah. Cinta mengawali hariku. Menyemburatkan senyum di bibir. Ada yang lucu, ada yang haru. Dua jariku tak henti membaca SMS yang kemarin-kemarin Dewi kirim. Masih juga seperti ini, aku tenggelam dalam sakit jiwa yang tak berkesudahan. Aku membiarkannya, membiarkannya, membiarkannya. Meski aneh, sakit jiwa ini membahagiakan.

Afwan, kalimat-kalimat ini tak lagi runtun seperti sebelumnya. Makin aku mencoba merangkai kata yang indah, makin terasa bahwa kalimat itu tak padu. Mungkin karena hatiku terlalu terpana dengan pesonamu.

Aku masih juga berusaha untuk mengamati dan mengenal Dewi secara lebih dekat. Aku ingin menjadi seniman cermin yang mampu mengenali aura wajahmu dari pecahan cermin yang kuatur sedemikian uniknya. Kau, yang terindah …

Dulu, saat perjumpaan pertama, tak banyak harapan yang ada di hatiku, hanya keinginan untuk memperindah cerita hidupku. Semoga itu tetap pada jalurnya kini.

Aku berusaha membuat semuanya indah. Kuserahkan akhir kisah kita ini hanya pada Tuhan, tentunya dengan usaha maksimal dari Abid dan Dewi. Yakin, Abid dan Dewi akan baik-baik saja. Andai ada sejuta janji yang kuberikan, itu adalah usahaku mengatur alam bawah sadarku untuk menjadikan semuanya menjadi nyata.

Saya, Abid, sungguh merasa sangat berbahagia dengan hadirnya seorang Dewi dalam hidupnya. Kini ia tak hanya sekedar Dewi, ia adalah Dewi, yang punya sejuta cara membuatku berbahagia.

Aku masih akan terus menyayang, mengucapkan kata sayang, berusaha membuktikannya. Hanya dengan satu tujuan: mengenalkan Dewiku hanya pada 1 warna, keindahan. Aku juga hanya ingin mengenal warna itu. Dewi mengajarkanku untuk itu.

Terlalu banyak kalimat yang tak mampu terungkap. Tapi semua tetap ada dalam satu batasan: Kita saling menyayangi, kita akan saling menjaga, kita akan saling menghargai, kita akan saling menghormati, kita akan saling memuja, kita akan saling menenangkan, menentramkan, menceriakan. Karena hidup ini indah, dan Dewi adalah yang terindah, yang akan kupuja, kupuji, kuhargai, kuhormati, dan kucintai.

Semoga, kehadiranku mampu meradiasikan kebahagiaan yang disediakan Tuhan.

Salam sayang …

Abid”.

Setelah perjumpaan kedua, kami merasa begitu dekat. Rasa sayang seolah membuncah di hati kami. Tapi segalanya masih pada jalurnya. Aku sibuk dengan rutinitasku praktek di 3 Rumah Sakit dan Ia dengan pekerjaannya sebagai pendidik. Seperti biasa, SMS, telfon dan email tak pernah berhenti. Menjelang idhul adha Ia menulis email …

Sejuta cinta, menjelang Idul Adha,

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Aku menulis imel ini sesaat setelah Dewi membalas SMS (Senin, 23 November 2009 |18 : 44) : “Aku sayang Dewi” dengan hanya sebuah kata yang sangat biasa : “Yup ”. Allah … kemudian telepon berdering, setelah beberapa saat Dewi mengatakan bahwa jempolnya dah capek. Hmmm … Afwan …

Mungkin sore ini aku menikmatinya sendiri. Kuputar lagu keras, sesaat sebelum senja, beranjak membersihkan diri dari dosa sehari. Setelahnya, lantutan suara Muhammad al-Barrak diselingi adzan di masjid bertalu. Isya.

Senja ini sepertinya Dewiku memang terlalu lelah, itu yang tertunjuk dalam suara sangat lemah dan sama sekali tak bersemangat menjawab teleponku. Atau bahkan mungkin bisa dapat BM gara-gara Abid bandel, dah dibilang jangan nelpon karena HP low, masih juga melakukannya.

Aku melakukan yang aku mau. Afwan …

Wi, cinta …

Entah hingga kapan aku merasakan ini. Tiap saat kurasakan tekanan cinta yang tak pernah berhenti. Sesaat aku berada di keramaian, seketika itu rasa sepi menyelimuti. Sesaat aku berada dalam keluangan waktu, seketika itu pikiranku melayang pada sesosok bayang. Manis. Sesaat hujan, malam, gelap, terang, dingin, panas dan berbagai situasi datang, tapi juga ia masih mampu menguasai kepalaku, hatiku, ragaku. Hingga kadang, sama sekali Aku tak mampu melakukan apa-apa. Terlalu konyol dilakukan oleh orang yang “waras”. Hehehe …

Aku … sungguh begitu menikmati ini, hingga tiba masa dimana aku akan mengintrospeksi, mungkin Dewi menyebutnya identifikasi. Tidak. Aku tidak pernah merasa mengidentifikasi. Itu hanya bahasa yang kurang tepat yang terucap. Aku hanya ingin semuanya menjadi lebih baik. Jika itu terjadi, akan ada salah satu diantara kita yang kena BadMood, dan itu selalu menimbulkan percakapan panjang lagi. Akhirnya menjadi begitu mesra, romantis, dekat, akrab dan menikmati. Begitu kan?! Afwan. Itu dinamika. Yang terutama adalah menjadi dewasa karenanya. Untuk menciptakan keyakinan, seseorang hanya perlu keluar dari sebuah titik keraguan. Kadang, sebuah titik keraguan itu datang lagi, hanya saja dengan level yang lebih rendah. Karenanya, hanya butuh sedikit pemahaman, kesabaran, ketenangan, kebijakan, dan kedewasaan. Hmmm … (Sok Dewasa Mode: ON)

Jangan pernah mengatakan bahwa ketidaknyamanan menyelimutimu, karena jika itu terjadi, seketika itu aku akan mengupayakan seluruh dunia menunjukkan padamu bahwa cerita hidup ini indah. Tak ada tempat bagi ketidaknyamanan. Ingat: Kebahagiaan Dewi adalah bahagiaku. Dan itu yang akan menyebabkan ketidaknyamanan tak boleh singgah di hati kasih tersayangku. Betul … betul … betul …

Tuhan, dinamika cinta itu begitu cepat. Naik, turun, mengangkat, membanting, menyemangati, melesukan hari, membuat senyum, menyemburatkan muram, menertawakan, membuat menangis, menelpon, SMS, imel, FB, pagi, malam, cinta, cinta, cinta, cinta, dan cinta. Selalu cinta.

Jumat besok, Idul Adha. Ada banyak pelajaran berharga darinya. Aku, satu dari sekian orang yang sangat sayang dengan Dewi. Selalu mencoba menjadikan semua momen hidup sebagai sebuah motivasi bagi Dewi. Entahlah, terlalu banyak keinginan untuk menemani Dewi menjalani hari, melalui hambatan rintangan, menyembuhkan kelelahan, memunculkan kekuatan. Idul Adha ini, seperti juga Idul Fitri yang kemarin, akan jadi momen berat. Bolehlah ada tangis, tapi jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Hari raya tetaplah hari raya, yang mesti diisi dengan segala macam jenis senyum di bibir. Tak boleh ada luka, tak boleh ada luka, tak boleh ada luka.

Aku mendahului masa, tak ingin momen “telatnya pesan” Idul Fitri kemarin terjadi lagi. Aku ingin membalas kesalahan itu dengan melakukan itu hari ini.

Qurban. Aku menyebutnya Qurban, kemudian menghubungkannya dengan kemampuan berkorban. Dua bahasa yang mirip, dengan makna yang hampir sama. Kuingatkan Dewiku tentang makna sebuah pengorbanan. Menghubungkannya dengan sebuah kalimat pesan dari seorang kakak tingkatku di Aliyah : Jangan pernah berkorban untuk orang yang tak kau sayangi… Mungkin, itu tepat pada beberapa situasi, juga mungkin tak tepat pada beberapa situasi yang lain.

Pengorbanan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah perjuangan. Keberhasilan tak pernah diukur hanya dari seberapa baik hasil yang dicapai, kesuksesan ada dalam proses, bukan tujuan. Dewi, adalah satu diantara sekian orang yang akan berkorban, berkorban, berkorban. Mungkin akan ada kelelahan setelah sekian banyak proses itu, Dewi hanya mesti yakin bahwa setiap pengorbanan yang dilakukan dengan niat tulus ikhlas akan mendapat ganjaran berlipat dari Yang Maha Kuasa. Dalam bentuk dan kuantitas seperti apa pun, pengorbanan adalah masalah integritas kita terhadap usaha peningkatan kualitas hidup. Semoga, itu ada, hingga nafas berakhir dari raga.

19 : 16

SMS Dewi sampai, setelah beberapa menit lalu percakapan berakhir. Sebulir bening jatuh di pelupuk mataku. Kalimat Dewi begitu menembus relung terdalam. Keinginan untuk bersama Dewi saat ini juga terlalu kuat menguasaiku, mungkin sama kuatnya dengan yang ada di hati Dewi, mungkin kurang, atau bahkan bisa lebih. Dalam cinta ini kita sama. Hanya saja masih mesti sedikit menggunakan akal sehat untuk tidak melakukan berbagai perbuatan nekad yang telah direncanakan oleh kepala : Misalnya kembali ke Makassar, nekad datang ke Jeneponto, atau satu alternatif terakhir : Membawa Dewiku ke Palopo. Hahahah … Tak boleh segila itu!

Apa yang ada saat ini adalah jembatan bagi kita untuk mempersatukan cinta. Itu bisa cepat, lambat, hanya tergantung dari seberapa sabar kita mengontrol diri. Abid, ada, selalu, untuk Dewiku.

Setahuku, Dewi adalah gadis yang suka menyembunyikan perasaannya. Meski mungkin jika berjumpa di dunia nyata, aku jamin Dewi tak akan mampu melakukan itu padaku. Aku akan memaksa, memohon, bersujud dan meminta Dewi bercerita tentang masalah yang ada. Karenanya, setiap hari Abid tau, meski dengan sedikit menekan perasaan GR untuk tidak muncul terlalu banyak: Dewi begitu sayang Abid. Itu terucap, tertulis, tertuang, tersirat, tampak, nyata, dan muncul dalam banyak kesempatan. Dewi … milikku.

Hari ini, aku selalu tahu bahwa rasa sayang di hati Dewi itu sudah terlalu kuat. Untuk wanita selembut dirinya, perasaan adalah salah satu kekuatan hidup yang membuatnya mampu bertahan. Dee … Abid tahu, Abid paham, Abid mengerti. Afwan jika lagi-lagi terjadi identifikasi. Tak ada maksud untuk begitu.

Dewi tau, setiap kekasih selalu berharap untuk disayangi, dicintai. Meski kadang itu terucap sebelumnya, satu, dua atau tiga hal mungkin memunculkan keraguan. Abid tak ragu, Abid menyimpan SMS pencegah kekhawatiran itu: Aku milik Abidku. Hanya saja, sering tiba-tiba ada sebersit rasa: Jangan-jangan dia tak sedang memikirkanku. *Halah* Itu yang akhirnya membuat beberapa pertanyaan atau ucapan: Aku sayang Dewi, bertubi-tubi masuk dalam inbox. Hanya ingin Dewi kembali mengingat Abid. Seperti ia tak pernah sedetikpun melepaskan bayangan Dewi dalam hari-harinya.

Hmmm … terlalu panjang.

Akhirnya, Abid sayang Dewi. Itu sebuah kalimat pamungkas yang merangkum seluruh kata dalam halaman imel ini. Seluruh konsekuensi dari rasa sayang itu telah siap sedia di kepala. Aku menyediakan sejuta satu tempat untuk menampung semua getaran yang sampai dalam proses menuju bersatunya Abid dan Dewi.
Abid & Dewi pasti akan baik-baik saja.

Semoga bisa tersenyum setelah ini.

Salam sayang, selalu, untuk kasih tersayangku, seorang.
Saya, Abid, dari sebuah tempat paling indah di dunia.

Wassalam …”.

Terlalu banyak hal yang membuatku berbahagia dengan kehadirannya. Ia membantuku untuk ikhlas dengan kepergian orang yang begitu berarti, begitu penting dalam hidupku.

Baca Juga :  Sepuluh Tahun Lalu, di Kelas 3A SMP Negeri 1 Bone-Bone

Memasuki bulan Desember, Ia mulai mengenalkanku pada satu kata ‘nikah’. Awalnya sangat sulit untukku mencerna kata tersebut. Tak bisa dan tidak tahu mesti menyikapinya seperti apa. Dalam emailnya yang sangat panjang ia menjelaskan.

Assalamu Alaikum …

Sungguh, setelah beranjak ke usia 24 dan masuk dalam dunia kerja, pertanyaan “Kapan nikah?” adalah sebuah pertanyaan paling sering diajukan kepada Abid. Awalnya enjoy saja, dengan tenang menjawab “masih tunggu mempelai wanita selesai kuliah”, atau “nyante dulu, masih pengen nikmati masa muda”, “masih pengen bantu orang tua dulu …” dan berbagai alasan sekedar nyeplos. Meski juga langsung disela oleh mereka yang bertanya “makanya nyari yang dah siap saja …”, “sampe kapan batas masa muda-nya?”, “setelah menikah pun masih bisa berbakti pada orang tua kok ..”. Hufhh …

Pertanyaan dan sindiran itu pun akan makin terasa ketika menghadiri undangan pernikahan salah seorang teman. Awalnya biasa dan benar-benar biasa, tapi lama kelamaan itu bagaikan sebuah virus yang menjangkit sedikit demi sedikit menggerogoti kepala untuk benar-benar memikirkan tentang institusi yang satu ini.

Andai mesti memilih, saat ini, pernikahan bagi Abid adalah sebuah ibadah yang sunnah, yang disukai oleh Rasul, karena itu menentramkan. Belum di taraf wajib. Hanya menjadi wajib ketika sang pria dan wanita secara lahir batin telah siap, kemudian didukung oleh ketakutan untuk terjerumus dalam perzinaan. Sedangkan Abid, secara lahir mungkin siap, batin belum, dan ketakutan untuk terjerumus itu masih bisa diminimalisir. Kekasih hati Abid juga berada jauh di negeri sana, itu mengurangi resiko syarat ketiga pada wajibnya nikah.

Dee …

Pacaran, ta’arruf atau apapun namanya – kita menyebutnya dengan mengikatkan hati – sebagai sarana untuk memperkenalkan diri pada seorang lawan jenis, selama itu diniatkan berujung pada gerbang pernikahan, Abid anggap sebagai hal yang sah. Sepanjang proses itu dilakukan dengan baik, dengan jalan yang baik, dengan niat yang baik, dengan tujuan yang baik, utamanya untuk melakukan penjajakan karakter pada pasangan yang bersangkutan, bukan penjajakan fisik. Abid mengakui bahwa saat ini ada seseorang yang sedang hadir dalam kehidupannya sebagai seorang calon mempelai wanita, meski itu masih jauh, nantilah di saat sama-sama telah siap untuk berbicara itu, ia kuanggap sebagai sebenar mempelai wanitaku. Namun mesti kembali lagi, mesti berujung pada niat pernikahan. Jika tidak, buat apa?

Pernikahan sendiri adalah salah satu cara menenangkan diri. Kita telah sama-sama membacanya pada buku Perempuan-nya Quraish Shihab. Sebagai salah seorang guru di sebuah sekolah menengah atas, yang siswanya centil centik gak jelas gitu, pernikahan sebenarnya telah Abid idam-idamkan sejak masa akhir waktu kuliah dulu. Bayangan dunia kerja yang dipenuhi dengan caruk maruk pergaulan antar jenis menyebabkan ketakutan ketakmampuan mengontrol diri muncul. Sayangnya, hingga saat ini Tuhan belum menunjuk salah satu hamba-Nya untuk menjadi pasangan Abid. Tapi ternyata, bicara tentang itu sungguh menimbulkan banyak sindrom tak jelas.

Abid sayang Dewi …

Di awal masa muda dulu, *Huah?!* selalu menyempatkan diri membaca berbagai artikel tentang pernikahan. Baik itu tentang pernikahan dini, poligami, memulyakan wanita, dan lain sebagainya. Harapannya hanya satu, mampu memperbaiki diri secepat mungkin dan menata diri untuk menghadapi dunia pernikahan. Tidak sempurna kehidupan seorang pria sebelum ia bersanding dengan wanita pujaannya, iya kan?

Abid, secara langsung atau tidak, ingin meradiasi Dewi dengan berbagai cerita ringan tentang pernikahan kemarin. Afwan … itu datang … di hati Abid …

My beloved Dee …

Saat ini, sebenarnya kedua orang tua kita telah mengetahui keberadaan calon pasangan masing-masing anaknya. Ibu Dewi telah tau tentang Abid, begitu juga, Ibunya Abid dah tau tentang Dewi, meski semua itu mungkin masih pada tahap sekedar tau. Mereka mendukung kita untuk menikah (?), kapan pun kita mau. Hanya saja mungkin butuh mempersiapkan beberapa hal untuk itu. Menikah itu tidak semudah yang dibayangkan.

Abid sayang Dewi …

Tak apalah sesekali berbicara panjang lebar tentang ini, agar Dewi paham bagaimana sebenarnya pendapat Abid tentang pernikahan itu sebagai sebuah jalinan.

Gak perlu merasa tak nyaman. Karena jika terus memperturutkan perasaan tak nyaman itu, masing-masing dari kita tak akan tau bagaimana tanggapan yang lain atas niatan tulus menjalin rumah tangga. Saat menulis ini, Abid dipenuhi dengan berbagai ketakutan. Ketakutan akan dunia baru yang akan kita hadapi, meski mungkin perasaan takut itu saat ini masih ditutupi oleh keindahan cinta. Juga ketakutan menimbulkan BadMood ekstra bagi Dewi, hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri ikatan, lalu Abid berbuat nekad. Hahahah ….

Abid sayang Dewi, tau Dewi. Dan pengetahuan yang sederhana tentang Dewi itu mengajari Abid untuk berfikir rasional tentang persiapan pernikahan. Unik kan?

Dewi tau apa yang Abid pikirkan?

Begini …

Setelah wisuda, September 2010, Abid dan Dewi bersanding, setelah itu Dewi ikut Abid ke Palopo, sejenak saja. Dewi liat lingkungan di sini. Pada tahun yang sama Dewi tak mungkin mendaftar untuk lanjut S1. Ya kan? Pendaftaran kan Juni 2011. Kalo pengen daftar kerja, bulan 11 2010 bisa ikut, kalo lulus, tinggal, kalo gak, Dewi tunggu Abid urus persiapan mutasi ke Makassar atau Jeneponto. Tahun depannya, bulan Juni 2011, Dewi bisa lanjut ke S1, Abid daftar di S2.

Lihat, rencana itu telah tergambar rapi sejak sekarang. Dasar melankolism! Tapi apa Dewiku mau menerima rencana itu?

Dee yang kusayang …

Bayangan tentang sebuah rumah mungil, bayi-bayi imut di lantai bermarmer, tempat sholat di sebuah sudut rumah dengan hiasan dinding foto ka’bah, lampu temaram di kamar tamu, berbagai sarana serba hi-tech di kamar kerja telah jelas dipikiranku. Hufhhh …

Bingung mesti bicara apa lagi pada Dewi. Mungkin untaian kata ini akan membentuk sebuah makna bulat tentang apa yang Abid maksud. Terdapat sedikit kontradiksi kalimat, tapi akan terdapat sebuah makna utuh tentang pembicaraan yang Abid maksud. Semoga Dewi paham…

Tentang hidup dan kepribadianku mungkin tak tampak secara utuh di masa perkenalan kita. Saat ini, bisa jadi yang tampak bagi Dewi adalah beberapa kebaikanku, tanpa tau keburukan yang tenggelam di belakangnya. Abid sebenarnya dah mencoba untuk menampakkan apa adanya Abid, semoga itu tertangkap. Dewi punya firasat yang kuat, yang tau apa yang sebenarnya terdapat dalam diri Abid.

Abid menghormati Dewi. Ingin Dewi menjadi ratu dalam hidupku. Berharap semua yang Dewi inginkan nanti bisa menjadi nyata.

Setelah ini, Abid memohon Dewi memahami bahwa ini adalah niatan suci Abid ingin Dewi tau apa yang sebenarnya dan bagaimana Abid memandang sebuah pernikahan.

Semoga cerita ini bisa jadi sekedar bahan referensi bagi Dewiku seorang untuk memahami Abid.

Ingat, saat ini tak perlu ditanggapi, sama sekali. Hanya ingin Dewi tau. Hanya ingin berbagi. Hanya ingin melegakan pikiran dengan menulis, dengan bercerita.

Jika merasa ada yang tidak pas, yang tidak sesuai dengan selera, yang menyebabkan badmood datang menyapa, nikmati saja sejenak. Setelah itu SMS Abid tentang ketidaknyamanan itu, dan sehari semalam akan Abid luangkan untuk mengembalikan kenyamanan itu ke Dewi.

Dewi di hatiku.

Sejuta kata cinta tak pernah lagi cukup mewakili perasaan Abid. Abid ingin buat semuanya indah.

Salam sayang, selalu …

Abid, yang Dewi kasihi …

Wassalam …”.

Beberapa bulan berikutnya, kami sering berdiskusi tentang pernikahan. Bagaimana, bagaimana dan bagaimana??

Baca Juga :  Musibah Perjalanan

Kemudian pada tanggal 12 Mei 2010, Ia beserta keluarga melakukan lamaran. Segalanya berjalan dengan lancar dan bersyukur satu prosesi telah selesai untuk menuju gerbang pernikahan.  Tapi waktu yang kami habiskan untuk sampai pada sunnah Rasul tersebut menjadi begitu sulit, ada banyak hal yang terjadi, mungkin ada banyak tangis yang berurai. Orang menyebutnya, sindrom pranikah. Seolah dunia berbalik arah, membuat segalanya menjadi mustahil.

Di tengah persiapan pernikahan, aku harus menyelesaikan studiku. Berbekal ilmu, semangat dan motivasi dari orang-orang tersayang, akhirnya akupun dapat menyelesaikan kuliah D-III Keperawatan dengan predikat alumni terbaik pada tanggal 9 Agustus 2010. Besoknya kami pun melakukan foto prawedding dan itulah perjumpaan kami yang terakhir. Selama masa pengenalan karakter atau masa mengikatkan hati atau masa pacaran, hanya terjadi 7 kali perjumpaan. Akhirnya, kami menikah pada tanggal 19 September 2010 dan hingga kini setiap malam tanggal 19 kami akan melakukan candle light dinner. Mungkin tempatnya tidak begitu mewah dibandingkan dengan tempat yang ada di kota seperti Makassar. Tapi perasaan yang menyatu, bersyukur membuat segalanya lebih istimewa, lebih indah.

Setelah menikah rencana awalnya tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah Ia tulis di email. Akan tetapi di tahun pertama pernikahan kami, Allah telah memberi kami amanah, tanggung jawab dengan kelahiran buah hati kami pada tanggal 22 Juni 2011. Seorang anak laki-laki yang kemudian kami beri nama Mahmud Alwan Abidin. Kami pun menunda melanjutkan pendidikan.

Saat ini, pertanyaan yang sering diajukan setiap kali bertemu dengan orang yang baru “sudah kerja?” dan sesekali kujawab “masih mau kuliah” atau “masih punya anak kecil”. Semuanya memang benar. Entah mengapa, sangat sulit untuk meninggalkan Alwan. Tidak ingin melewatkan proses tumbuh kembangnya. Tidak ingin melewatkan hari dimana untuk pertama kalinya Ia memanggil “mamaaa”. Selain itu dalam Al-qur’an, Allah juga telah berfirman  dalam surah Al-baqarah ayat 233

Baca Juga :  Mau Cepet Kaya? Menikahlah!

…..وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan……”.

Meski tak bisa sempurna untuk menjadi ibu yang baik, tapi saat ini berusaha memberikan segala yang terbaik untuknya. ASI yang sejuta kali lebih bermanfaat dibandingkan susu formula. Andai waktu yang kuhabiskan untuk itu telah melewatkanku dari kepuasan kerja, kesempatan untuk mendapatkan uang yang lebih banyak itu tidaklah sebanding dengan mendengarkan tangis, menyaksikan tingkah lucu Alwan yang menggemaskan dan cara Ia tertawa. Ibu dimanapun akan mengerti perasaan yang demikian.

Akhirnya, inilah aku Dewi Nuryanti. Yang tidak memiliki kesibukan apapun tetapi sehari melakukan banyak pekerjaan. Aku menikmati segala peran yang kujalani. Suamiku selalu berkata “raihlah pahala sebanyak-banyaknya dengan menjadi ibu rumah tangga”. Meski Ia tak pernah melarangku untuk bekerja diluar rumah, tapi aku mengerti menjadi seperti saat ini juga membuat hatinya lebih tenang.

MasBied.com

About MasBied.com

Just Another Personal Blog