Mayat-Mayat Orang Toraja
Tana Toraja adalah salah satu destinasi wisata terdekat yang sudah saya impikan sejak 2020. Di Desember 2019 saya pernah menginap bersama anak wali di Pango-Pango, salah satu tempat tertinggi di Toraja dengan hutan pinus yang berselimut kabut. Saat itu kami menginap semalam, ditemani dengan udara dingin yang luar biasa. Pemandangan alam yang saya saksikan kala itu begitu membekas di hati, membuat saya ingin kembali menikmati.
Setelah hari itu, saya selalu kepikiran untuk kembali ke Toraja. Cantiknya alam Toraja membuat saya ingin mengulang cerita. Mengulang perjalanan ke Toraja yang menyenangkan. Berencana menghabiskan waktu menikmati alamnya, menikmati warisan budaya, dan yang paling utama adalah menyaksikan upacara adat Toraja.
Namun sayang seribu sayang… Kuartal pertama 2020 Corona menyerang. Saya otomatis membatalkan rencana di Juni 2020, karena masa itu adalah masa puncak pandemi yang membuat semua orang mengeluh. Jangankan untuk berlibur, untuk keluar lorong saja susahnya minta ampun. Di sana sini disemprot pake disinfektan, sampe kap motor belang tak karuan. Wkwkwk …
Begitu juga Desember 2020, saat libur sekolah tiba, rencana itu lagi-lagi gagal juga. Pasalnya pemerintah Toraja memberlakukan syarat tes antigen untuk masuk ke kabupaten mereka. Ribet saja jika berlibur dengan harus melalui proses-proses seperti itu. Tidak yakin juga, apakah semua tempat wisata terbuka untuk umum atau masih tutup sementara.
Akhirnya, Juni 2021 inilah waktu yang paling tepat. Beberapa hari setelah anak-anak bagi raport, saya, Alwan dan Iqbal, pergi menyelesaikan mimpi berwisata yang sudah lama melekat.
Saya menuliskan cerita perjalanan itu di halaman ini. Semoga bisa menjadi bayangan bagi teman-teman yang juga ingin melakukan wisata ke tempat yang sama, Toraja. Sejak rencana dibuat, saya sengaja mencari info lokasi wisata untuk membuat gambaran perjalanan selama 3 hari 2 malam. Biar sampe sana nggak bingung mau kemana, kan ..
Asyik nggak? Asyik nggak?! Ya asyiklah. Masa’ Nggak?! :)
Kenapa Toraja?
Destinasi wisata Toraja berada di 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.
Toraja, dengan ibukota Makale, terdapat wisata Burake’, bukit Olon, Tangga Seribu Gunung Sopai dan Pango-Pango.
Sedangkan di Toraja Utara dengan ibukota Rantepao, terdapat lebih banyak objek wisata budaya. Yang paling terkenal adalah Kete’ Kesu, Londa, Lolai, dan Batutumonga.
Jarak rumah saya dengan Rantepao (Toraja Utara) berdasarkan google maps adalah sekitar 135-an kilometer. Dari total jarak ini, 90 km adalah jarak Bone-Bone ke Palopo yang merupakan jalanan datar, dan sisanya adalah jalan pegunungan. Menanjak menikung, kiri jurang dalam, kanan tebing terjal. Fiuh.
Bagi supir mobil amatiran seperti saya, perjalanan Toraja ini seperti sebuah mimpi buruk. Haha .. Jika Anda pernah melihat channel youtube Sitinjau Lauik, seperti itulah jalanan menuju Toraja. Anda pasti bisa bayangkan bagaimana perasaan supir spesialis jalan datar seperti saya jika harus melalui jalan sejenis itu.
Tapi …
Akses jalan utama dari tempat saya ke Rantepao saat ini memang tidak bisa jika menggunakan mobil. Ini dikarenakan adanya salah satu titik di bagian puncak gunung yang longsor pada pertengahan 2020. Pada detik-detik longsor di titik itu, terlihat beberapa rumah hanyut bersama tanah longsor akibat hujan deras beberapa hari. Lokasi longsor ini rupaya adalah pertokoan tempat kami membeli oleh-oleh saat ke Pango-Pango tahun sebelumnya. Jalur utama penghubung Palopo Toraja itu hingga kini masih dalam pengerjaan. Berbagai alat berat masih standby di sana, bekerja siang dan malam ngebut penyelesaian jalan.
Akses kendaraan dari dan ke Toraja via Palopo lewat jalur darurat puncak itu hanya bisa dilalui motor. Jalur jembatan gantung seukuran 2 meter dibangun di atas daerah longsor, sekedar motor bisa lewat ke arah seberang. Sementara pengerjaan jalan longsor di bagian bawah jembatan itu masih terus dikebut hingga Agustus 2021 ini.
Ada sih jalur alternatif menggunakan mobil, yakni Batu Sitanduk via Sangkaropi, tapi katanya medannya lebih buruk lagi karena memang jalan itu belum di aspal. Beberapa supir yang pernah lewat sana mengaku kapok melalui jalur alternatif itu. :D
Atau bisa juga dari rumah saya ke Toraja lewat Enrekang. Itu berarti saya harus memutar dulu ke Sidrap, yang membuat jarak tempuh menjadi sekira 450 km, sama dengan panjang perjalanan ke Makassar. Addeh.
Akhirnya, karena beberapa alasan itulah, saya memutuskan untuk berwisata menggunakan motor. Saya memakai motor matic 125 cc keluaran 2014. Sementara ponakan menggunakan Shogun 2007.
Menempuh perjalanan sejauh itu dengan motor adalah sebuah perjuangan. Apalagi dengan motor yang ber-cc kecil. Tapi apa boleh buat kawan, mimpi itu harus dikejar. Waktu mungkin tak lagi ada untuk melakukan perjalanan serupa. Jika tak menyempatkan, maka tak akan pernah sempat. :D
Sebelum berangkat, banyak kekhawatiran tentang kuat tidaknya kedua motor ini mendaki melalui jalur-jalur pegunungan itu. Kalau pas melalui pendakian terjal, terus nggak kuat, gimana …
Tapi, Anda tahu sendirilah bagaimana akhirnya.
Artikel ini bisa terbit dan Anda baca karena Alhamdulillah saya berhasil melewati masa liburan itu dengan selamat. :D
Itinerary Toraja 3D2N
Untuk mencapai target semua tempat wisata di Toraja hanya dengan waktu 3 hari 2 malam, saya mengontak seorang pemandu wisata lokal Toraja. Sebenarnya saya sudah googling sana sini tentang lokasi tempat wisata, termasuk dengan maps dan gambarannya. Tapi saya tak yakin dengan itu.
Beberapa orang yang saya tanya di grup juga mengaku belum pernah ke tempat-tempat yang ingin saya datangi. Jadi dengan senang hati saya mencari pemandu. Takutnya, ditunjukkan jalan berbeda oleh google maps. Rencananya untung, eh malah buntung. :D
Setelah mencari di facebook, saya menemukan seorang guide bernama Arru. Tapi sayangnya jadwalnya pada tanggal keberangkatan saya sudah full booked. Beliau akhirnya merekomendasikan seorang temannya bernama Gibson.
Berikut adalah itinerary (rencana perjalanan) yang Pak Gibson buatkan untuk saya :
Hari Pertama
07.00 – 13.00 Perjalanan Bone-Bone ke Rantepao
13.00 – 14.30 Kete’ Kesu
14.30 – 16.00 Londa
16.00 – 18.00 Kota Rantepao
18.00 – 00.00 Break
Hari Kedua
04.00 – 07.00 Lolai Negeri di Atas Awan
07.00 – 08.30 Loko’ Mata
08.30 – 09.30 Mentirotiku Batutumonga
10.00 – 13.00 Upacara Adat Rambu Solo’
13.00 – 14.00 Kolam Limbong
14.00 – 15.30 Kalimbuang Bori’
15.30 – 16.00 Palawa’
16.00 – 16.30 Museum Ne’ Gandeng
16.30 – 17.30 Pasar Bolu
17.30 – 07.00 Break
Hari Ketiga
07.00 – 11.00 Tangga Seribu Buntu Sopai
11.00 – 12.00 Buntu Burake
13.00 – 17.00 Perjalanan Makale ke Bone-Bone
Lihat Foto-Foto Wisata Toraja Saya & Alwan
Foto-foto ini ada di google drive. Foto tidak akan terdownload ke HP, biar nggak bikin HP full memory. Enjoy saja … :)
Baca artikel tentang destinasi wisata di bawah ya ..
Okelah .. Berikutnya saya bahas sedikit perjalanan di masing-masing destinasi
1 – Kete’ Kesu
Kete Kesu ini adalah tujuan wisata pertama kami. Berjarak hanya sekitar 4 km dari kota Rantepao membuatnya jadi destinasi yang lebih mudah diakses terlebih dahulu. Saat sampai di sana, rupanya sedang ada upacara adat. Lumayan nih, pikir saya. Bisa saksikan upacara yang selama ini hanya saya saksikan di youtube. Tapi sayang, rupanya acara sudah hampir selesai, tinggal sesi foto-foto saja. Beberapa menit setelah kami datang, kotak berisi mayat di bawa ke makam di belakang Kete Kesu. Sepertinya untuk dimakamkan, saya tak tahu. Saya tak dapat melihat jelas karena posisi orang ramai di sekitar puncak tangga di gambar sebelah kiri ini. Di Toraja, proses pemakaman tidak semudah seperti yang terjadi di daerah saya.
Di bagian depan Kete Kesu terdapat beberapa rumah tongkonan yang merupakan rumah tradisional Toraja. Rumah tongkonan ini adalah pemandangan paling umum yang bisa ditemukan di Toraja. Sejak masuk ke wilayah Toraja Utara dalam perjalanan dari Palopo, di kiri kanan rumah-rumah warga sudah terdapat bangunan semacam ini. Bangunan yang merupakan ciri paling khas dari Toraja.
Hanya saja, istimewanya Kete Kesu ini adalah karena umurnya memang sudah sangat tua. Ratusan tahun bahkan. Sebuah rumah Tongkonan didirikan oleh 1 generasi keluarga. Tapi jangan salah, pada gambar Kete Kesu di atas (gambar pada judul), bukan semuanya bangunan tongkonan, ada juga yang namanya lumbung.
Tongkonan dicirikan dengan bangunan yang memiliki tiang kotak. Di tiang bagian depan Tongkonan dipajang susunan tanduk kerbau yang disembelih saat upacara adat kematian. Semakin banyak tanduk kerbau yang terpajang di depan Tongkonan, menandakan semakin tinggi strata sosial keluarga tersebut.
Di belakang Kete Kesu terdapat kubur batu kuno yang digantung di dinding-dinding batu. Modelnya seperti perahu. Di beberapa bagian juga, terdapat susunan tengkorak kepala manusia.
Berkunjung ke wisata Toraja tak memiliki aura mistis sama sekali. Suasananya sudah seperti melihat pajangan tengkorak yang ada di lab biologi. Alwan yang baru pertama kali datang pun, tak menunjukkan ketakutan.
Alhamdulillah.
Tiket Masuk Kete Kesu : Rp. 15.000/org
Jarak dari Kota Rantepao : 4 km (15 menit dengan motor)
Akses Jalan : Aspal mulus, mendatar, bisa mobil
Maps : https://goo.gl/maps/gqxLdk9xPbdmJDG69
2 – Londa Ancient Graveyard
Londa adalah goa batu alami yang dijadikan kuburan. Kita bisa masuk di dalam goa ini, tentunya dengan menggunakan penerangan buatan.
Untuk masuk, kita bisa menyewa lampu petromax beserta pemandunya. Perjalanan mungkin hanya berlangsung sekitar 20 menit saja. Tapi tak apalah. Daripada jalan sendiri nanti ketemu penampakan, yang dikira pengunjung lain padahal anu. Wkwkw …
Peti mayat di Londa tidak dikuburkan ke dalam tanah seperti layaknya pemakaman modern, tapi hanya diletakkan begitu saja. Sama seperti Kuburan Kuno di Kete Kesu, di Londa ini tidak tampak aura horor dan tidak berbau mayat, meski banyak tengkorak yang berserakan dan peti mati yang berumur ratusan tahun. Kondisi dalam goa Londa ini sejuk dan terasa angin sepoi-sepoi.
Pemandu bilang bahwa jenazah terakhir yang dimakamkan di tempat ini berusia sekitar 8 bulan lalu, yakni pada November 2020. Hingga sekarang, masih ada mayat yang dikuburkan di Londa ini. Tradisi pemakaman di Londa masih terus berlanjut, oleh rumpun keluarga yang tinggal di sekitar wilayah itu.
Tiket Masuk Londa : Rp. 15.000/ orang
Biaya Sewa Lampu Petromak : Rp. 50.000
Jasa Local Guide masuk Londa : Seikhlasnya
Jarak dari Kete Kesu : 8,4 km (25 menit dengan motor)
Akses Jalan : Aspal mulus, jalan kota, akses mobil luas, parkiran bagus
Maps : https://goo.gl/maps/NcEPmoTYiAjUK8wd8
3 – Lolai To’ Tombi
Lolai dikenal sebagai negeri di atas awan. Saat ini sepertinya Lolai-lah destinasi paling favorit di sekitar Toraja. Lolai To’ Tombi ini mulai viral sejak 2015 saat salah seorang anak muda mengupload gambar wisata puncak ini dengan awan di bawahnya.
Untuk dapat menyaksikan awan, Anda sebaiknya menuju ke Lolai setelah subuh. Perjalanan ke Lolai melalui jalan aspal mulus, mendaki dan yang pasti, Brrrrrr … dingiiiin … Saya yang sudah pake jaket tebal, kaos tangan, dan sepatu pun masih kedinginan dihempas kabut selama perjalanan.
Sepanjang jalan saya membayangkan bagaimana kehidupan warga di sekitar Lolai ini. Kalau saya tinggal di sini nih, mungkin tidak bisa mandi setiap pagi. :D Pemandu kami yang tinggal di dataran Rantepao pun menggigil kedinginan sesaat setelah sampai di Lolai ini. Apalagi kami yang berasal dari daerah yang warganya tak bisa tidur tanpa kipas angin.
Kata pak Gibson, untuk menyaksikan gumpalan awan yang sempurna di Lolai ada syaratnya. Syaratnya adalah hujan. Kalau malamnya hujan, maka paginya awan di Lolai akan terlihat keren. Gumpalan awan diawali dengan kabut. Saat matahari mulai terbit, udara di bumi mulai hangat sehingga kabut naik ke atas membentuk awan.
Kata teman, Lolai itu mistis, kadang ada wisatawan yang tidak melihat awan saat ke sini. Tapi saya pikir alasannya bukan mistis itu, hanya saja syarat untuk terjadinya awan tidak terpenuhi .
Btw, saat di Lolai ini saya melihat beberapa anak muda menginap di tenda-tenda. Mereka mendirikan tenda di parkiran tepat belakang tulisan “To’ Tombi” itu. Bagi yang terbiasa mendaki gunung dan bergelut dengan udara dingin, pasti nikmat menginap di puncak begini.
Di Lolai ini tersedia penginapan dan kantin. Ngopi dan makan pisang goreng pasti nikmat ditemani dinginnya pagi.
Tiket Masuk Lolai : Rp. 15.000/ orang
Jarak dari Rantepao : 12,4 km (30 menit dengan motor)
Akses Jalan : Aspal mulus, mendaki, bisa mobil meski beberapa titik agak sempit, parkiran luas
Maps : https://goo.gl/maps/KUJUXpyx5m8vhvuz6
4 – Loko’ Mata
Perjalanan ke Loko’ Mata dimulai ketika matahari di Lolai sudah terang benderang, sekitar pukul 7.00 Wita. Arah ke utara dari Kota Rantepao, melewati pegunungan dan sawah yang indah. Di sepanjang jalan masih ada kabut yang menutupi, ditembus semburat cahaya matahari, membuat garis-garis tebal tipis melalui batang pohon, menghasilkan pemandangan cantik yang jarang saya temui.
Perjalanan dari Lolai ke Loko’ Mata melewati pinggiran gunung dengan akses jalan dominan datar. Memakan waktu hampir 1 jam, selain karena jaraknya memang jauh, pemandu kami memang santai bawa motornya, demi menyempatkan kami menikmati pemandangan yang sudah disediakan alam itu.
Dan yang pasti .. Dingin gaes …
Saking dinginnya, kalo kita ngomong bisa keluar asap kayak yang orang-orang Korea itu lho.. :D
Di kiri kanan perjalanan terdapat sawah terasering. Dari beberapa titik kami bisa melihat puncak gunung Sesean, menabrak kabut, menyaksikan indahnya pemandangan pegunungan, melihat bapak-bapak nongkrong dengan sarung tetap menyelimuti tubuhnya, melihat anak-anak berseragam SD berjalan kaki yang ketika ditanya mengatakan bahwa mereka sedang menuju sekolah SMP untuk mendaftar. Fuih, jadi kangen pengen ngulang lagi kan .. :(
Untuk itulah sebenarnya saya liburan. Menyaksikan keindahan alam yang tak setiap hari bisa saya temukan.
Loko’ Mata berarti Lubang Mata. Disebut lubang mata karena awalnya ada 2 buah kuburan batu yang posisinya menyerupai 2 mata. Kumpulan kuburan batu ini terletak dalam sebuah batu yang berukuran sangat besar. Di sekitar sini, bukan hanya Loko’ Mata saja satu-satunya pekuburan batu. Di sepanjang jalan menuju destinasi berikutnya, saya masih menemukan kuburan batu yang arsitekturnya mirip dengan kuburan di Loko’ Mata ini.
Pekuburan batu Loko’ Mata ini dibuat secara manual dengan cara dipahat, tidak menggunakan alat modern. Mungkin karena memang urusannya dengan tradisi, jadi harus dilakukan secara manual bermodal palu dan betel besi. Pembuatan 1 lubang kuburan oleh tenaga khusus ini memakan waktu hingga 5 bulan. Tenaga profesional yang memahat akan diberi gaji setara seekor kerbau (sekitar 40 juta).
Sebuah kotak lubang di kuburan batu ini tidak hanya seukuran yang terlihat pada pintu-pintu kotak itu. Lubang kuburan itu selain menjorok ke dalam, juga menjorok ke bawah. Di dalamnya bisa berukuran sekitar 2m x 2m.
Untuk diketahui, sebuah kotak kuburan ini digunakan untuk makam satu rumpun keluarga. Bahkan menurut Pak Gibson, dalam 1 lubang ini bisa menampung hingga 60-an orang. Banyak banget kan ya?!
Sebenarnya ada yang lebih menarik pada tradisi orang Toraja ini, yakni tradisi Ma’ Nene’. Setiap 2 tahun, di bulan Agustus hingga Oktober terdapat tradisi untuk membersihkan dan mengganti pakaian semua jenazah yang ada dalam kuburan batu ini. Di Loko’ Mata juga menjadi salah satu tempat dilakukannya upacara adat ini.
Dalam tradisi Ma’ Nene’, yang mungkin bisa Anda lihat di youtube, mayat akan dikeluarkan dari tempatnya, dibersihkan jika terdapat debu-debu, dijemur dan diganti pakaiannya. Sayangnya, tradisi itu sudah dilaksanakan tahun 2020 lalu. Berarti 2 tahun lagi baru bisa menyaksikan.
Meski begitu, kata Pak Gibson, menyaksikan mayat yang masih memiliki kulit dan daging-daging tertinggal itu butuh keberanian.
Pengen sih.
Semoga tahun depan bisa kembali ke sini menyaksikan itu. :)
Tiket Masuk Loko’ Mata : Gratis karena lokasi pinggir jalan
Jarak dari Lolai : 21,6 km (+ 1 jam dengan motor lewat pegunungan)
Akses Jalan : Aspal jalanan kerikil atau berbatu, ada yang berbatu tajam, dominan mendatar, mobil agak sulit (jika dari Lolai)
Maps : https://goo.gl/maps/2qubNZxRBBhptwNs5
5 – Mentirotiku Batutumonga
Sebelum Lolai ramai seperti sekarang, Batutumonga adalah tempat favorit wisatawan menyaksikan awan. Tak hanya wisatawan lokal, tapi juga wisatawan mancanegara. Lokasinya yang berada di bawah gunung Sesean membuatnya menjadi titik strategis bagi para pendaki memulai pendakian. Di Batutumonga ini mereka menyimpan kendaraan, dan melanjutkan pendakian ke puncak Sesean.
Dari Mentirotiku Batutumonga ini juga kita bisa menyaksikan puncak gunung Latimojong (7 Summit Indonesia yang terletak di Enrekang, Toraja, Luwu). Di antara gumpalan awan putih yang cantik, hijaunya sawah dan cantiknya pemandangan pegunungan di sekitar, puncak Latimojong sesekali muncul memperlihatkan betapa tinggi dirinya.
Terdapat penginapan dan rumah makan di Mentirotiku Batutumonga ini. Kami menyempatkan menikmati panasnya indomie telur di tengah dinginnya udara pagi di sini. Tempat makan di sini keren sih. Selain memang alami dan megah, juga menyuguhkan pemandangan luar biasa, bahkan tak kalah dari yang ditampilkan oleh Lolai si Negeri di Atas Awan.
Andai bisa memilih untuk kembali menginap di Rantepao, saya akan memilih tempat ini sebagai tujuan. Sayangnya saya baru tahu tempat secantik ini pada hari kedua, dan tak mungkin untuk kembali ke sini lagi sore nanti. Melelahkan pastinya jika harus ke sini lagi setelah menghabiskan waktu seharian ke beberapa tempat wisata. Nantilah lagi..
Meskipun perjalanan menuju Batutumonga cenderung lebih bagus jika lewat jalur terusan (setelah dari Loko’ Mata), kami memilih jalan pintas untuk turun ke kota Rantepao. Jadwalnya jam 10 harus menyaksikan upacara adat, sehingga kecepatan berkendara menjadi target. Jika melewati jalur utama, harus menempuh jarak lebih dari 23 km, yang artinya akan memakan waktu lebih dari 1 jam. Melewati jalan pintas akan sampai lebih cepat 30 menit dari yang seharusnya. Ya sudah, saya ngikut Pak Gibson saja.
Tapi yang perlu anda tau, dan saya tidak duga, perjalanan menuju jalan pintas ini sungguh ekstrim. Kek kek offroad gaes. Beneran offroad. Bukan lumpur, tapi yang motor trael enduro itu.
Namanya turun dari gunung, di jalan alternatif, duh … Aspalnya rusak, jalanan kecil. Pada bagian paling parah, ban motor harus menghadapi batu-batu tajam seukuran kepalan tangan. Jalan turun menukik parah, bikin tangan harus ekstra menggenggam rem motor. Alwan yang duduk di boncengan belakang, beberapa kali merosot mengambil tempat duduk saya. Sempat sekali ban motor turun dari aspal, mendekati jurang, dikarenakan mengalah karena ada truk yang sedang naik. :D
Alhamdulillah, saya sampai di bawah dengan aman. Sesuai perhitungan awal kami sampai di kota Rantepao sekitar jam 10 an.
Kalau Anda bukan pengendara motor yang lihai, saya sarankan untuk tidak melewati jalur alternatif ini deh. Atau jika darurat, minta boncenglah sama yang lebih ahli.
Tiket Masuk Batutumonga : Gratis
Makan Mie Kuah : Rp. 15.000 (enak wih dingin-dingin makan mie panas)
Jarak dari Loko’ Mata : 4 km (10 menit)
Akses Jalan dari Loko’ Mata : Aspal cenderung mulus, mendatar, bisa mobilAkses turun ke Rantepao lewat jalan alternatif : Aspal sedikit, cenderung jalan berbatu sekepal tangan, berbatu tajam, menukik parah, motor bisa sih asal lihai, pastikan rem motor bekerja baik, hati-hati ban bocor karena batu tajam, naik mobil juga bisa tapi harus supir profesional, supir amatir lebih baik mundur. :D Ini salah satu jalanan paling parah selama perjalanan Toraja, ya namanya juga jalanan alternatif. Xixi..
6 – Upacara Rambu Solo’
Salah satu alasan saya menggunakan jasa pemandu adalah untuk efisiensi waktu. Alasan lainnya adalah saya ingin menyaksikan upacara rambu solo’. Tanpa pemandu mungkin kita bisa menemukan lokasi upacara, tapi sulit. Dengan pemandu, kita bisa menyaksikan upacara itu tanpa rasa kikuk saat menyaksikan dari dekat. Beruntungnya lagi, kami bisa menyaksikan upacara Rambu Solo’ terbesar diantara sekian banyak upacara yang dilakukan warga Toraja hari itu.
Upacara Rambu Solo’ yang kami saksikan berada sekitar Kecamatan Kesu. Tak jauh dari lokasi Kete Kesu yang sudah kami datangi pertama kali. Upacara Rambu Solo’ adalah upacara pemakaman suku Toraja.
Awalnya saya mengira ini adalah tradisi kristen, ternyata ini murni adat. Jadi Rambu Solo’ ini dilakukan oleh Suku Toraja, tidak peduli agama apa saja mereka. Kristen Protestan, Kristen Katolik atau bahkan Islam pun mengikuti upacara ini jika ada kerabat mereka yang dimakamkan.
Sebelum dilakukan upacara rambu solo’ ini, mayat tidak dimakamkan, tapi hanya disimpan di dalam tongkonan. Tapi tak perlu khawatir, mayat sudah disuntik formalin sehingga tidak membusuk selama penantian upacara.
Upacara yang kami saksikan ini adalah upacara hari ke-3, dari total 5 hari upacara pelaksanaan. Hari ini adalah upacara penyambutan tamu. Beberapa hari ke depan akan dilakukan penyembelihan binatang kerbau dan babi.
Di upacara hari ini, puluhan kerbau dan babi sudah terlihat di tengah tempat upacara. Kerbau terlihat tenang sekali, hidungnya masih dicolok diikat pada tumpuan yang disediakan. Hanya babi yang ribut, suaranya melengking.
Para tamu undangan yang hadir jumlahnya ratusan hingga ribuan. Karena banyaknya tamu, kendaraan yang datang pun sangat banyak. Tamu-tamu undangan ini dominan menggunakan mobil truk 4 roda berukuran sedang. Selain karena lebih kuat menghadapi segala medan gunung di Toraja, truk memuat banyak orang sekaligus babi persembahan yang mereka bawa. Beberapa lainnya mengendarai Kijang lawas, Innova atau kendaraan sejenis.
Di perjalanan ke lokasi upacara, kami terpaksa parkir motor agak jauh. Puluhan mobil sudah terlihat bingung mengatur parkiran. Pak Gibson khawatir jika terlalu dekat dengan lokasi nanti tak bisa keluar tepat waktu karena jalanan sudah terisolir parkiran mobil yang tak karuan.
Tamu yang datang terdiri dari rumpun keluarga yang tinggalnya jauh, atau teman dari yang meninggal hadir. Karena upacara hari ini adalah upacara penyambutan tamu, maka nanti tamu akan diiring ke tengah lapangan diiringi tarian, lantas disambut oleh keluarga dekat di sebuah tempat khusus. Di sana mereka disuguhkan sirih dan pinang.
Tari-tarian, suara seruling Toraja, lagu-lagu pujian dan khasnya cara berbicara tetua adatnya saat menyampaikan nama-nama rombongan keluarga, bikin suasana terasa syahdu. Saya sempat menyaksikan beberapa potong upacara Rambu Solo’ di youtube, tapi menyaksikan langsung memang jauh rasanya. Lebih terasa pokok eh.
Rombongan tamu datang menggunakan pakaian serba hitam. Disambut dengan keluarga dan anak cucunya yang berpakaian khas Toraja. Ibu-Ibu PKK desa setempat juga datang memberikan sumbangan tenaga melayani para tamu yang hadir.
Jenazah yang belum dimakamkan itu disimpan di rumah Tongkonan. Sejak kematian hingga belum diupacarakan, selama itu pula mayatnya masih di sana. Setelah mulai pelaksanaan upacara, peti mayat diarak keliling kampung dan dinaikkan bangunan yang memiliki tangga bambu itu.
Bangunan-bangunan kecil selain rumah tongkonan yang digunakan untuk menyambut tamu ini dibangun mulai 3 bulan sebelumnya. Tingginya solidaritas orang Toraja bisa dilihat saat ada upacara pemakaman sejenis ini. Tetangga dan keluarga akan datang tanpa diminta, membantu segala proses pembangunan dari awal hingga akhir. Biaya yang dimakan pun tak sedikit. Untuk pesta pengantin, kita biasanya hanya fokus pada 2 hingga 3 hari persiapan. Nah ini, 3 bulan persiapan eui. Padahal, setelah upacara ini selesai, bangunan itu akan dibongkar. Ckckck .. Luar biasa.
Rumah tongkonan ini selalu menghadap ke Utara dan Selatan. Nirwana (surga) menurut kepercayaan suku Toraja berada di Selatan. Maka saat meninggal, arwah akan menuju selatan. Sedangkan kerbau adalah kendaraan yang digunakan untuk menuju nirwana. Semakin banyak kerbau yang disembelih saat upacara kematian, maka akan semakin cepat arwah sampai.
Upacara kematian adat Toraja memang adalah salah satu upacara yang memakan biaya paling banyak. Tak hanya ratusan juta, tapi hingga milyaran. Apalagi jika yang meninggal adalah bangsawan. Semakin tinggi strata sosial dalam masyarakat, akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan untuk proses pemakamannya. Dalam sebuah upacara sempurna, keluarga yang ditinggalkan harus memotong hingga 24 ekor kerbau. Belum termasuk kerbau dan babi dari kerabat. Banyak kan bro …
Panjanglah ceritanya jika membahas Rambu Solo’. Tonton di youtube-lah kalau mau menyaksikan lengkapnya. :D
Bersyukur akhirnya bisa menyaksikan secara langsung sebuah upacara besar ini. Meski hanya beberapa jam saja. Setidaknya niat saya sejak awal ingin menyaksikan upacara adat di Toraja bisa terlaksana. Alhamdulillah…
7 – Kolam Alam Limbong
Kolam alam Limbong ini punya keunikan tersendiri. Mau musim hujan ataupun musim kemarau, kedalaman air tetap begitu-begitu saja. Tak naik dan tak turun. Danau ini berada di tengah gunung batu. Warna airnya hijau, dengan kiri kanan bebatuan tajam.
Danau Limbong ini dihuni banyak ikan. Beberapa sempat menampakkan diri, sepertinya jenis ikan gabus, atau ikan lele. Di danau ini, kata pak Gibson, biasanya banyak orang memancing. Mereka memancing berkeliling danau. Tapi saat kami ke sana, mungkin karena tengah hari, tak ada satupun pemancing yang kami temukan.
Kata Pak Gibson, awalnya daerah ini dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Tapi sejak dibuka sebagai daerah wisata, keadaannya menjadi biasa saja.
Tiket Masuk Danau Limbong : Rp. 15.000/org
Jarak dari Loko’ Mata : 3 km (10 menit)
Akses Jalan dari Rantepao : Aspal sebagian, jalur pasir berbatu, sebagian menanjak, mobil bisa tapi dengan motor lebih mudah
Maps : https://goo.gl/maps/352xQPm5mV9Fsxf67
8 – Kalimbuang Bori’
Kalimbuang Bori mirip dengan kuburan batu Loko’ Mata. Tapi di sini terdapat beberapa batu sejenis menhir. Batu tinggi besar yang didirikan ini merupakan simbol telah terjadi sebuah upacara pemakaman lengkap. Hanya bisa didirikan batu menhirnya jika keluarga si mati sudah menyembelih 24 ekor kerbau. Semakin tinggi batu yang dididikan menandakan semakin tinggi pula derajat kebangsawanannya.
Di sekitar kuburan saya menyaksikan banyak rokok dan air botol yang dibawa oleh para keluarga. Kata Pak Gibson, rokok dan air itu adalah persembahan yang diberikan kepada si mati.
Gambar pada kotak kuburan (gambar kanan bawah) memperlihatkan berapa banyak jumlah anggota keluarga yang dikubur dalam 1 lubang.
Di sini juga terdapat kuburan bayi yang ditanam dalam pohon. Bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi dimakamkan dalam pohon bergetah yang dibuatkan kotak. Getah dianggap sebagai air susu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi bersama pohon.
Di Toraja, jenis kuburan batu seperti Bori’ ini banyak. Dalam satu perkampungan, selalu ada kuburan-kuburan batu. Satu rumpun keluarga dimakamkan bersama-sama.
Meskipun begitu, ada juga keluarga modern yang menguburkan anggota keluarganya dengan menggunakan makam modern, dengan peti yang dimasukkan dalam tanah.
Tiket Masuk Kalimbuang Bori’ : Rp. 15.000/org
Jarak dari Danau Limbong : 12 km (30 menit)
Akses Jalan dari Danau Limbong : Jalan pegunungan berbatu sebagian, jalan kota dan jalan kampung dengan aspal, dengan mobil aman, motor juga bisa, kemarin masih proses pengaspalan di sekitar lokasi
Maps : https://goo.gl/maps/SURybRK8aaXJH8Tb9
9 – Palawa’
Wisata Palawa’ adalah rumah tongkonan kuno yang usianya lebih dari 300 tahun. Rumah-rumah adat ini memang sudah sangat tua. Atap tongkonan yang terbuat dari bambu sudah ditumbuhi oleh lumut dan tanaman lainnya. Ditumbuhi tanaman ini membantu atap tongkonan lebih awet.
Jika dilihat pada gambar ini, terdapat 2 jenis tiang bangunan. Ada tiang yang berbentuk kotak, ada juga berbentuk bulat.
Bangunan dengan tiang kotak adalah tongkonan, sedangkan bangunan dengan tiang bundar adalah lumbung. Di tongkonan ini, jenazah disimpan jika belum diupacarakan untuk pemakaman. Sedangkan lumbung digunakan untuk menyimpan padi yang diikat setelah panen.
Selama belum diupacarakan, jenazah masih dianggap hidup oleh anggota keluarga, hanya dianggap sakit. Karenanya, mayat masih diperlakukan selayaknya orang hidup. Setiap malam, anggota keluarga masih menemani mayat tidur. Jika makan, anggota keluarga juga menyediakan porsi makanan untuk mayat, yang diletakkan di dekatnya. Hal ini dilakukan hingga proses pemakaman selesai.
Jika keluarga belum melakukan upacara pemakaman selama 1 tahun, ya selama 1 tahun mayat tinggal dalam tongkonan. Jika belum mampu hingga 20 tahun, ya tinggal di tongkonan 20 tahun. Begitulah.
Ada cerita menarik dari Pak Gibson nih. Jadi .. Di sekitar Kalimbuang Bori’ itu pernah ada adik kakak yang tinggal bersama kakek (atau orang tua mereka). Kakak dan anggota keluarga lainnya merantau ke luar pulau, hanya tersisa mereka berdua bersama kakeknya. Saat kakeknya meninggal, adik kakak ini tidur bersama jenazahnya setiap malam. Iya bener, setiap malam. Makan bersama mayat, tidur bersama mayat. Saat ditanya merasa takut atau tidak, ternyata tidak. Malah katanya sering nonton film horor. :D
Tiket Masuk Palawa’ : Gratis
Jarak dari Kalimbuang Bori’ : 6 km (20 menit)
Akses Jalan dari Kalimbuang Bori : Aspal mulus, motor dan mobil bisa akses.
Maps : https://goo.gl/maps/tZaS2YhKdA6LddH17
10 – Museum Ne’ Gandeng
Pada upacara kematian Ne’ Gandeng, tahun 2001, disembelih 200 ekor kerbau oleh keluarga. Belum termasuk kerbau dan babi dari para kerabat. Untuk pelaksanaan upacaranya, dibangun tempat seluas dan semegah ini. Jika Anda saksikan di foto-foto awal, upacara kematian dilakukan pada tempat-tempat sederhana yang dibangun hanya untuk keperluan beberapa hari saja. Tapi pada upacara Ne’ Gandeng berbeda. Bangunan itu permanen. Bisa disaksikan hingga saat ini. Itulah sebab kenapa museum ini menjadi menarik.
Kalau dihitung, hanya untuk kerbau saja (dengan nilai sekarang), 1 ekor kerbau dihargai Rp. 30-40jutaan, berarti biaya pada jaman itu setara 200 x Rp. 40 juta = Rp. 8 milyar. Banyak beud kan gaes.
Belum termasuk bangunan permanen yang dibangun ini. Semuanya luar biasa pokoknya.
Keluarga Ne’ Gandeng ini memang orang-orang terpandang dan kaya raya. Sehingga bisa membuat persembahan terakhir bagi Ne’ Gandeng dalam bentuk upacara yang hingga saat ini belum dipecahkan rekornya.
Tiket Masuk Museum : Rp. 10.000/orang
Jarak dari Palawa’ : 13 km (30 menit)
Akses Jalan dari Palawa’ : Aspal mulus, motor dan mobil bisa akses.
Maps : https://goo.gl/maps/CFgzzgYtJ1vEpvP29
11 – Pasar Bolu
Wisata terakhir hari kedua yang kami kunjungi adalah Pasar Bolu. Di pasar ini terdapat tempat penjualan kerbau terbesar di Dunia. Terbesar di dunia gaes … Boleh cek lah fakta ini.
Di pasar bolu ini, pasar terbuka setiap hari Selasa dan Sabtu. Di saat itu, ribuan kerbau dan babi terjual di pasar ini setiap hari. Kerbau tak hanya didatangkan dari daerah Toraja, tapi juga dari beberapa daerah di Sulawei Selatan, hingga Sulawesi.
Harga kerbau normal sekitar 40 juta. Ada kerbau yang lebih mahal, yang berwarna dasar putih belang hitam mata putih tanduk warna gading bisa dihargai hingga M-M-an. Iya, bener, milyaran. Ada juga ratusan juta yang warna dasar hitam belang putih.
Saya mengira bahwa kerbau ini dimiliki oleh beberapa penjual saja, tapi kata Pak Gibson rata-rata di pasar ini seekor kerbau dimiliki oleh satu orang. Beuh. Berarti penjualnya banyak banget kan ya …
Kami berkunjung saat sore, meski begitu kerbau dan babi yang dijual masih banyak. Apalagi jika berkunjung pagi.
Kalau ke Toraja, sempatkanlah melihat tempat ini ya.
12 – Buntu Sopai
Tangga seribu di Buntu Sopai ini baru viral beberapa bulan terakhir ini. Dari arah Rantepao, kami berkendara motor dengan menggunakan google maps. Tapi ternyata peta yang ditunjukkan google maps tidak sesuai. Akhirnya bertanya ke beberapa orang, dan sampai ke titik yang dimaksud.
Ketinggian gunung Sopai ini 1400 mdpl. Tingginya daerah yang akan kami tuju mengharuskan kami mengendarai motor dalam medan yang cukup ekstrim. Kecuraman jalanan mirip dengan model jalan ke Pango-Pango. Pendakian tajam, tikungan patah. Mendaki lagi, tikungan lagi. Yang bahaya adalah saat motor kehilangan grip karena jalanan licin akibat beton basah ditumbuhi lumut. Hiii .. Ekstrim lah.
Sempat ada beberapa adegan saat motor hampir tidak kuat menanjak. Tapi bisa diselesaikan dengan sempurna setelah Alwan, sang penumpang merelakan diri turun dari motor. Wkwkw …
Sayangnya, kami salah memilih waktu. Saat sampai di gerbang, saya baru tau bahwa wisata ini ditutup.
Yah, rencana jalan menuju tangga seribu gagal deh.
Lain kali lah …
13 – Patung Yesus Buntu Burake’
Tujuan terakhir dari wisata Toraja kali ini adalah Patung Yesus Memberkati di Buntu Burake’. Patung ini berada di puncak gunung di kota Makale. Dari kejauhan di ujung-ujung kota Makale, kita bisa menyaksikan patung ini menjulang menggapai awan.
Perjalanan ke arah patung ini seperti mendaki gunung di tengah kota. Perjalanannya cukup menantang, meski tak seberat medan ke Buntu Sopai. Beberapa titik pendakian tinggi, tapi jalanannya aspal mulus. Selain itu di kiri kanan ada pembatas jalan. Bukitnya pun agak jauh dari jurang.
Sesampai di area patung ini kita bisa menyaksikan keindahan kota Makale, pegunungan sekitar dan pemandangan alam yang memukau.
Sebenarnya hari itu wisata patung ini masih ditutup oleh Pemda. Saya tak tahu itu. Saat masuk ke destinasi wisata, tak ada penjaga yang mengambil uang karcis masuk seperti sebelumnya. Setelah bertanya ke penjual gorengan yang ada di sekitar patung, beliau bilang bahwa sebentar lagi Pol-PP akan datang, dan pengunjung tidak boleh berlama-lama di sini.
Ya sudah, ane cabut.
Pas keluar dari daerah wisata, memang sudah banyak pol-PP yang menjaga pintu masuk. Mereka melarang semua pengunjung yang datang untuk masuk ke dalam daerah wisata. Untungnya kami sudah di dalam. Jadi bisa keluar tanpa masalah.
Lokasi : Kota Makale
Tiket masuk : Normal Rp. 15.000
Jarak dari Kota Makale : 4,2 km (15 menit)
Maps : https://goo.gl/maps/7N8jHLx4HMZ9j7WT8
Inilah akhirnya…
Perjalanan 3 hari 2 malam ke Toraya Maelo sudah berakhir. Puas bisa menikmati anugerah indah dari Tuhan untuk Toraja. Semoga bisa kembali lagi lain waktu, dengan tujuan yang berbeda. :)
Jika ada fakta yang salah di tulisan ini, mohon tulis di komentar yah.. Siapa tau saya salah tulis atau salah tangkap atas penjelasan pemandu. :)
Saran Kalo Mau ke Toraja…
- Di hemat saya, berkendara motor lebih baik saat wisata ke Toraja. Kecuali jika berniat bersama rombongan, dengan mobil tentu jalan terbaik. Jalanan ke beberapa objek wisata lebih cepat jika diakses pakai motor, selain karena beberapa jalan juga masih berupa kerikil berbatu. Kecuali jika Anda cuma ingin ke Ketekesu, Londa, Lolai, Burake, maka berkendara mobil pun cukup.
- Toraja dingin eui. Jika mau liburan dengan budget terbatas, pilih saja penginapan murah, meskipun nggak pake AC. Yang penting ada sarapan dan air hangat untuk mandi. Saya kemarin tidur dengan AC dimatikan, saking dinginnya. :D
- Jika memungkinkan, gunakan pemandu lokal. Kecuali hanya ingin berwisata ke tempat-tempat yang jalanannya mudah dijangkau, semisal Ketekesu, Londa dan Lolai. Dengan pemandu, akses ke jalan-jalan pintas mudah didapat, meski kadang jalanan agak rusak.
- Kalau kuat menahan dingin, lebih baik menginap di Lolai, Batutumonga atau Pango-Pango. Asyik tuh. Bisa liburan budget juga nih. Yang penting siap tidur dalam dingin yang menembus tulang. :D
- Kontak Pak Gibson : 081355973107
- Thanks sudah membaca artikel panjang ini …