Pramuka dan Tradisi Kekerasan

Gerakan Pramuka (Praja Muda Karana) berarti wadah bagi anak muda yang berkarya, atau juga didefinisikan pra = sebelum, muka = depan, menjadi yang terdepan, adalah satu-satunya organisasi kepanduan yang diakui oleh negara. Ia juga organisasi kepemudaan yang diberi hak untuk mengikatkan bendera merah putih di leher. Hmmm … Sayangnya, saya melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa person menanamkan bahwa Pramuka adalah organisasi yang identik dengan kekerasan. Bukankah begitu? Sampai salah satu lagu Pramuka pernah didendangkan, mau makan jalan jongkok, sudah makan ditindaki, dihukum maki dibentak-bentak. Wahai pembinaku sungguh kejam dirimu. Hahaha …

Memang, sejak pengalaman ber-Pramuka di SD hingga SMA, kekerasan adalah salah satu kalimat paling tepat untuk menggambarkan bagaimana proses belajar terjadi dalam Pramuka. Sulit rasanya menemukan momen tidak berlakunya hukum itu. Ya, di sini berlaku bahwa senior *baca : Pembina* tidak pernah bersalah. Dalam banyak proses pembelajaran yang saya lihat dalam Gerakan Pramuka, kekerasan mendominasi. Apalagi, jika kegiatan yang berlaku adalah proses penerimaan, pelantikan, penggemblengan. Ada beberapa batas yang menurut saya lewat, yang bahkan tidak bermanfaat banyak bagi peserta didik. Contohnya begini, pada saat proses Penerimaan Anggota Baru atau kenaikan tingkat SKU (Syarat Kecakapan Umum) dari Penggalang ke Penegak, berjalan di tengah sawah panas ditambah makan lombok biji dan bawang merah adalah salah satu kegiatan yang terjadi. Ngeri membayangkannya. Pelakunya, utamanya yang masih SMP mungkin asyik saja menerimanya, menjadikannya sebagai sebuah cerita seru bagi teman-teman atau adik-adiknya, tapi tanpa terasa, tradisi itu akan menjadi sebuah pengalaman tentang kekerasan.

Saya pernah melihat beberapa kakak pendamping pembina dalam sebuah agenda penggodokan di sebuah sungai berteriak keras kepada adik-adiknya yang sedang berenang di got, atau tepatnya sungai kotor. Hufh. Tak tau dimana letak proses pembelajarannya. Apakah itu karena peserta didik sedang diajari untuk patuh pada perintah, atau justru ia hanya takluk pada atasan tanpa hak untuk melawan. Hahai. Kegiatan seperti ini justru tidak memanusiakan manusia. Memang, kebanyakan siswa yang berperan dalam kegiatan pramuka adalah anak muda dengan jiwa bersemangat, yang mungkin hanya berfikir pendek tanpa mengukur lebih dalam tentang manfaat dan mudharat proses yang ia lakukan.

Baca Juga :  PMR, Tempat Belajar Kepedulian

Cerita tentang Gerakan Pramuka di masa perguruan tinggi berbeda. Sungguh jauh berbeda dengan kegiatan Pramuka pada SMA. Di sana sama sekali tidak berlaku tindak kekerasan yang tidak memanusiakan manusia. Tiga tahun lebih saya berkecimpung di Racana Almaida UIN Alauddin Makassar, tak pernah satu pun ada perintah makan lombok biji atau ngemut satu permen oleh 10 orang berlaku. Pramuka di perguruan tinggi memang pendidikan orang dewasa. Sementara saya melihat bahwa Pramuka di SMP atau SMA adalah ajang pembalasan dendam dan adu gengsi anak muda. Apa iya begitu? Ingatkan jika saya salah.

Semoga ada perbaikan.

MasBied.com

About MasBied.com

Just Another Personal Blog